INDAHNYA BERBAGI SESAMA

كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ

Tuesday 10 August 2010

Asuhan keperawatan pasien dengan hepatitis


A. Pendahuluan

Hepatitis virus akut merupakan penyakit infeksi yang penyebarannya luas dalam tubuh walaupun efek yang menyolok terjadi pada hepar. Telah ditemukan 5 kategori virus yang menjadi agen penyebab yaitu Virus Hepatitis A (HAV), Virus Hepatitis B (HBV), Virus Hepatitis C (HVC), Virus Hepatitis D (HDV), Virus Hepatitis E (HEV).
Walaupun kelima agen ini dapat dibedakan melalui petanda antigeniknya, tetapi kesemuanya memberikan gambaran klinis yang mirip, yang dapat bervariasi dari keadaan sub klinis tanpa gejala hingga keadaan infeksi akut yang total.
Bentuk hepatitis yang dikenal adalah HAV ( Hepatitis A ) dan HBV (Hepatitis B). kedua istilah ini lebih disukai daripada istilah lama yaitu hepatitis infeksiosa dan hepatitis serum, sebab kedua penyakit ini dapat ditularkan secara parenteral dan non parenteral.
Hepatitis virus yang tidak dapat digolongkan sebagai Hepatitita A atau B melalui pemeriksaan serologi disebut sebagai Hepatitis non-A dan non-B (NANBH) dan saat ini disebut Hepatitis C (Dienstag, 1990). Selanjutnya ditemukan bahwa jenis hepatitis ini ada 2 macam, yang pertama dapat ditularkan secara parenteral (Parenterally Transmitted) atau disebut PT-NANBH dan yang kedua dapat ditularkan secara enteral (Enterically Transmitted) disebut ET-NANBH (Bradley, 1990; Centers for Disease Control, 1990). Tata nama terbaru menyebutkan PT-NANBH sebagai Hepatitis C dan ET-NANBH sebagai Hepatitia E (Bradley,1990; Purcell, 1990).
Virus delta atau virus Hepatitis D (HDV) merupakan suatu partikel virus yang menyebabkan infeksi hanya bila sebelumnya telah ada infeksi Hepatitis B, HDV dapat timbul sebagai infeksi pada seseorang pembawa HBV.
Hepatitis menjadi masalah kesehatan masyarakat yang penting tidak hanya di Amerika tetapi juga diseluruh Dunia. Penyakit ini menduduki peringkat ketiga diantara semua penyakit menular yang dapat dilaporkan di Amerika Serikat (hanya dibawah penyakit kelamin dan cacar air dan merupakan penyakit epidemi di kebanyakan negara-negara dunia ketiga. Sekitar 60.000 kasus telah dilaporkan ke Center for Disease Control di Amerika Serikat setiap tahun, tetapi jumlah yang sebenarnya dari penyakit ini diduga beberapa kali lebih banyak. Walaupun mortalitas akibat hepatitis virus ini rendah, tetapi penyakit ini sering dikaitkan dengan angka morbiditas dan kerugian ekonomi yang besar.
Dengan makin meningkatnya derajat kesehatan di Indonesia maka perhatian terhadap penyakit infeksi tidak hanya dipusatkan kepada penyakit-penyakit infeksi yang menimbulkan angka kematian bayi yang tinggi misalnya gastroenteritis serta infeksi saluran nafas. Hepatitis Virus yang merupakan penyakit yang tidak banyak menimbulkan kematian bayi makin mendapat perhatian, apalagi karena infeksi oleh beberapa jenis Hepatitis Virus ternyata dapat mengurang angka harapan hidup dan dapat pula mengurangi kualitas hidup serta produktivitas. Namun perhatian tersebut relatif lambat dibandingkan dengan negara-negara maju sebab dalam menghadapi hepatitis Virus kita banyak menemui kesulitan diagnostik, karena untuk menegakkan diagnosis hepatitis Virus diperlukan pemeriksaan laboratorium yang relatif mahal, dan belum menjangkau daerah-daerah jerifer. Sampai saat ini publikasi tentang hepatitis virus di Indonesia masih sangat terbatas, dan kebanyakan berasal dari data-data rumah sakit.

B. Pengertian

Hepatitis adalah Suatu peradangan pada hati yang terjadi karena toksin seperti; kimia atau obat atau agen penyakit infeksi (Asuhan keperawatan pada anak, 2002; 131)
Hepatitis adalah keadaan radang/cedera pada hati, sebagai reaksi terhadap virus, obat atau alkohol (Ptofisiologi untuk keperawatan, 2000;145)

C. Etiologi dan Faktor Resiko
1. Hepatitis A
a. Virus hepatitis A (HAV) terdiri dari RNA berbentuk bulat tidak berselubung berukuran 27 nm.
b. Ditularkan melalui jalur fekal – oral, sanitasi yang jelek, kontak antara manusia, dibawah oleh air dan makanan.
c. Masa inkubasinya 15 – 49 hari dengan rata – rata 30 hari.
d. Infeksi ini mudah terjadi didalam lingkungan dengan higiene dan sanitasi yang buruk dengan penduduk yang sangat padat.
2. Hepetitis B (HBV)
a) Virus hepatitis B (HBV) merupakan virus yang bercangkang ganda yang memiliki ukuran 42 nm
b) Ditularkan melalui parenteral atau lewat dengan karier atau penderita infeksi akut, kontak seksual dan fekal-oral. Penularan perinatal dari ibu kepada bayinya.
c) Masa inkubasi 26 – 160 hari dengan rata- rata 70 – 80 hari.
d) Faktor resiko bagi para dokter bedah, pekerja laboratorium, dokter gigi, perawat dan terapis respiratorik, staf dan pasien dalam unit hemodialisis serta onkologi laki-laki biseksual serta homoseksual yang aktif dalam hubungan seksual dan para pemaki obat-obat IV juga beresiko.

3. Hepatitis C (HCV)
a) Virus hepatitis C (HCV) merupakan virus RNA kecil, terbungkus lemak yang diameternya 30 – 60 nm.
b) Ditularkan melalui jalur parenteral dan kemungkinan juga disebabkan juga oleh kontak seksual.
c) Masa inkubasi virus ini 15 – 60 hari dengan rata – 50 hari
d) Faktor resiko hampir sama dengan hepetitis B

4. Hepatitis D (HDV)
a) Virus hepatitis B (HDP) merupakan virus RNA berukuran 35 nm
b) Penularannya terutama melalui serum dan menyerang orang yang memiliki kebiasaan memakai obat terlarang dan penderita hemovilia
c) Masa inkubasi dari virus ini 21 – 140 hari dengan rata – rata 35 hari
d) Faktor resiko hepatitis D hampir sama dengan hepatitis B.

5. Hepattitis E (HEV)
a) Virus hepatitis E (HEV) merupakan virus RNA kecil yang diameternya + 32 – 36 nm.
b) Penularan virus ini melalui jalur fekal-oral, kontak antara manusia
c) Dimungkinkan meskipun resikonya rendah.
d) Masa inkubasi 15 – 65 hari dengan rata – rata 42 hari.
e) Faktor resiko perjalanan kenegara dengan insiden tinggi hepatitis E dan makan makanan, minum minuman yang terkontaminasi.

D. Insiden
1. Hepetitis A
Penyakit endemik dibeberapa bagian dunia, khususnya area dengan sanitasi yang buruk. Walaupun epidemik juga terjadi pada negara – negara dengan sanitasi baik.
2. Hepatitis B
Ditemukan dibeberapa negara insidennya akan meningkat pada area dengan populasi padat dengan tingkat kesehatan yang buruk.
3. Hepatitis C
90 % kasus terjadi akibat post transpusi dan banyak kasus sporadik, 4 % kasus hepatitis disebabkan oleh hepatitis virus dan 50 % terjadi akibat penggunaan obat secara intra vena
4. Hepatitis D
Selalu ditemukan dengan hepatitis B, delta agent adalah indemik pada beberapa area seperti negara mediterania, dimana lebih dari 80 % karier hepatitis B dapat menyebabkan infeksi
5. Hepatitis E
Adalah RNA virus yang berbeda dari hepatitis A dan eterovirus biasanya terjadi di India, Birma, Afganistan, Alberia, dan Meksiko.

E. Patofisiologi
Inflamasi yang menyebar pada hepar (hepatitis) dapat disebabkan oleh infeksi virus dan oleh reaksi toksik terhadap obat-obatan dan bahan-bahan kimia. Unit fungsional dasar dari hepar disebut lobul dan unit ini unik karena memiliki suplai darah sendiri. Sering dengan berkembangnya inflamasi pada hepar, pola normal pada hepar terganggu. Gangguan terhadap suplai darah normal pada sel-sel hepar ini menyebabkan nekrosis dan kerusakan sel-sel hepar. Setelah lewat masanya, sel-sel hepar yang menjadi rusak dibuang dari tubuh oleh respon sistem imun dan digantikan oleh sel-sel hepar baru yang sehat. Oleh karenanya, sebagian besar klien yang mengalami hepatitis sembuh dengan fungsi hepar normal.
Inflamasi pada hepar karena invasi virus akan menyebabkan peningkatan suhu badan dan peregangan kapsula hati yang memicu timbulnya perasaan tidak nyaman pada perut kuadran kanan atas. Hal ini dimanifestasikan dengan adanya rasa mual dan nyeri di ulu hati.
Timbulnya ikterus karena kerusakan sel parenkim hati. Walaupun jumlah billirubin yang belum mengalami konjugasi masuk ke dalam hati tetap normal, tetapi karena adanya kerusakan sel hati dan duktuli empedu intrahepatik, maka terjadi kesukaran pengangkutan billirubin tersebut didalam hati. Selain itu juga terjadi kesulitan dalam hal konjugasi. Akibatnya billirubin tidak sempurna dikeluarkan melalui duktus hepatikus, karena terjadi retensi (akibat kerusakan sel ekskresi) dan regurgitasi pada duktuli, empedu belum mengalami konjugasi (bilirubin indirek), maupun bilirubin yang sudah mengalami konjugasi (bilirubin direk). Jadi ikterus yang timbul disini terutama disebabkan karena kesukaran dalam pengangkutan, konjugasi dan eksresi bilirubin.
Tinja mengandung sedikit sterkobilin oleh karena itu tinja tampak pucat (abolis). Karena bilirubin konjugasi larut dalam air, maka bilirubin dapat dieksresi ke dalam kemih, sehingga menimbulkan bilirubin urine dan kemih berwarna gelap. Peningkatan kadar bilirubin terkonjugasi dapat disertai peningkatan garam-garam empedu dalam darah yang akan menimbulkan gatal-gatal pada ikterus.

F. Manifestasi klinik
1. Masa tunas
Virus A : 15-45 hari (rata-rata 25 hari)
Virus B : 40-180 hari (rata-rata 75 hari)
Virus non A dan non B : 15-150 hari (rata-rata 50 hari)
2. Fase Pre Ikterik
Keluhan umumnya tidak khas. Keluhan yang disebabkan infeksi virus berlangsung sekitar 2-7 hari. Nafsu makan menurun (pertama kali timbul), nausea, vomitus, perut kanan atas (ulu hati) dirasakan sakit. Seluruh badan pegal-pegal terutama di pinggang, bahu dan malaise, lekas capek terutama sore hari, suhu badan meningkat sekitar 39oC berlangsung selama 2-5 hari, pusing, nyeri persendian. Keluhan gatal-gatal mencolok pada hepatitis virus B.
3. Fase Ikterik
Urine berwarna seperti teh pekat, tinja berwarna pucat, penurunan suhu badan disertai dengan bradikardi. Ikterus pada kulit dan sklera yang terus meningkat pada minggu I, kemudian menetap dan baru berkurang setelah 10-14 hari. Kadang-kadang disertai gatal-gatal pasa seluruh badan, rasa lesu dan lekas capai dirasakan selama 1-2 minggu.
4. Fase penyembuhan
Dimulai saat menghilangnya tanda-tanda ikterus, rasa mual, rasa sakit di ulu hati, disusul bertambahnya nafsu makan, rata-rata 14-15 hari setelah timbulnya masa ikterik. Warna urine tampak normal, penderita mulai merasa segar kembali, namun lemas dan lekas capai.

G. Pemeriksaan diagnostik
1. ASR (SGOT) / ALT (SGPT)
Awalnya meningkat. Dapat meningkat 1-2 minggu sebelum ikterik kemudian tampak menurun. SGOT/SGPT merupakan enzim – enzim intra seluler yang terutama berada dijantung, hati dan jaringan skelet, terlepas dari jaringan yang rusak, meningkat pada kerusakan sel hati
2. Darah Lengkap (DL)
SDM menurun sehubungan dengan penurunan hidup SDM (gangguan enzim hati) atau mengakibatkan perdarahan.
3. Leukopenia
Trombositopenia mungkin ada (splenomegali)
4. Diferensia Darah Lengkap
Leukositosis, monositosis, limfosit, atipikal dan sel plasma.
5. Alkali phosfatase
Agaknya meningkat (kecuali ada kolestasis berat)
6. Feses
Warna tanah liat, steatorea (penurunan fungsi hati)
7. Albumin Serum
Hal ini disebabkan karena sebagian besar protein serum disintesis oleh hati dan karena itu kadarnya menurun pada berbagai gangguan hati.
8. Gula Darah
Hiperglikemia transien / hipeglikemia (gangguan fungsi hati).
9. Anti HAVIgM
Positif pada tipe A
10. HbsAG
Dapat positif (tipe B) atau negatif (tipe A)
11. Masa Protrombin
Mungkin memanjang (disfungsi hati), akibat kerusakan sel hati atau berkurang. Meningkat absorbsi vitamin K yang penting untuk sintesis protombin.
12. Bilirubin serum
Diatas 2,5 mg/100 ml (bila diatas 200 mg/ml, prognosis buruk, mungkin berhubungan dengan peningkatan nekrosis seluler)
13. Tes Eksresi BSP (Bromsulfoptalein)
Kadar darah meningkat. BPS dibersihkan dari darah, disimpan dan dikonyugasi dan diekskresi. Adanya gangguan dalam satu proses ini menyebabkan kenaikan retensi BSP.
14. Biopsi Hati
Menujukkan diagnosis dan luas nekrosis
15. Scan Hati
Membantu dalam perkiraan beratnya kerusakan parenkin hati.



16. Urinalisa
Peningkatan kadar bilirubin. Gangguan eksresi bilirubin mengakibatkan hiperbilirubinemia terkonyugasi. Karena bilirubin terkonyugasi larut dalam air, ia dsekresi dalam urin menimbulkan bilirubinuria.
17. Radiologi
- foto rontgen abdomen
- pemindahan hati denagn preparat technetium, emas, atau rose bengal yang berlabel radioaktif
- kolestogram dan kalangiogram
- arteriografi pembuluh darah seliaka
18. Pemeriksaan tambahan
- laparoskopi
- biopsi hati

H. KOMPLIKASI
Ensefalopati hepatic terjadi pada kegagalan hati berat yang disebabkan oleh akumulasi amonia serta metabolik toksik merupakan stadium lanjut ensefalopati hepatik. Kerusakan jaringan paremkin hati yang meluas akan menyebabkan sirosis hepatis, penyakit ini lebih banyak ditemukan pada alkoholik.

I. PENATALAKSANAAN MEDIK
HEPATISIS A
Upaya Preventif umum
Kebijakan ini mencakup upaya perbaikan hygiene-sanitasi yang tampak sederhana, tetapi sering terlupakan. Namun demikian, upaya ini memberikan dampak epidemiologis yang positif karena terbukti sangat efektif dalam memotong rantai penularan.
a. Perbaikan hygiene makanan-minuman. Bertitik tolak dari sifat virus yang tahan panas. Upaya ini mencakup memasak air dan makanan sampai mendidih selama minimal 10 menit, mencuci dan mengupas kulit makanan terutama yang tidak dimasak, serta meminum air dalam kemasan (kaleng/botol) bila kualitas air minum non kemasan tidak meyakinkan.
b. Perbaikan hygiene-sanitasi lingkungan-pribadi. Berlandaskan pada peran transmisi fekal-oral HVA. Faktor hygiene-sanitasi lingkungan yang berperan adalah perumahan, kepadatan, kualitas air minum, sistem limbah tinja, dan semua aspek hygiene lingkungan secara keseluruhan. Mencuci tangan dengan bersih (sesudah defekasi, sebelum makan, sesudah memegang popok-celana), sangat berperan dalam mencegah transmisi VHA.
c. Isolasi pasien. Mengacu pada peran transmisi kontrak era antar individu. Pasien diisolasi segera setelah dinyatakan terinfeksi HVA. Anak dilarang datang ke sekolah atau ke tempat penitipan anak, sampai dengan dua minggu sesudah timbul gejala. Namun demikian, upaya ini sering tidak banyak menolong karena virus sudah menyebar jauh sebelum yang bersangkutan jatuh sakit.
Upaya Preventif Khusus
Upaya preventif khusus terhadap HVA mencakup upaya imuniksasi pasien dan aktif. Kebijakan preventif ini dipengaruhi oleh faktor umur anak, tingkat sosial ekonomi yang bersangkutan, dan angka prevalensi setempat.
Imunisasi pasif.
Normal human immune globulin (NHIG) diberikan pada keadaan pra dan pasca paparan (pre-post exposure). Pada kondisi pra-pasca paparan tersebut NHIG dapat diberikan dengan atau tanpa vaksin HVA. Baik pada pra-maupun pasca paparan, kadar tertinggi antibody akan dicapai dalam waktu 48 - 72 jam sesudah pemberian NHIG. Upaya profilaksis pasca paparan adalah upaya preventif (NHIG +/- vaksin HVA), terhadap individu kontak serumah, kontak seksual, staf institusi penitipan anak, pada epidemi.
Mekanisme kerja NHIG. Mekanisme netralisasi virus pada pemberian HBIg disebabkan beberapa faktor berikut. Pertama, neutralizing antibody akan mencegah perlekatan virus (attachment) di reseptor spesifik di permukaan hepatosit. Kedua, kompelsk NHIG dengan virus akan menyebabkan agregasi virus dan berkurangnya derajat infektivitas virus. Ketiga, antibody yang berkaitan dengan kapasid akan mencegah proses pelepasan (uncoating) selubung virus, yang merupakan tahap awal proses invasi dan replikasi virus, satu atau lebih dari mekanisme tersebut akan berperan terhadap efektivitas NHIG dalam mencegah infeksi HVA pada kondisi pra paparan.
Pada pasca paparan, mekanisme kerja NHIG tidak begitu jelas, meskipun tidak senantiasa berhasil mencegah infeksi, NHIG terbukti efektif dalam memo-difikasi penyakit sehingga menjadi lebih ringah/asimtomatis. Diperkirakan, NHIG akan mencegah viremia sekunder dan mengurangi kemungkinan infeksi hati sekunder. NHIG hanya efektif bila diberikan dalam waktu < 2 minggu setelah terpapar. Sesudah 2 minggu, efektivitas NHIG akan sangat berkurang karena sudah terjadi viremia.
Imunisasi Aktif
Vaksin HVA yang saat ini beredar di Indonesia adalah vaksin inaktivasi dengan nama dagang Havrix.
Tujuan dari imunisasi aktif adalah upaya ini bertujuan melindungi anak terhadap infeksi HVA dan terhadap kemungkinan timbulnya komplikasi HVA (fulminant, relapsing, prolong hepatitis) dan komplikasi gastro-intestinal yang berat. Upaya ini juga berdampak positif terhadap lingkungan akibat berkurangnya kemungkinan penyebaran infeksi terhadap penyebaran infeksi terhadap anak besar, orang dewasa, serta populasi yang rentan HVA.
Pada penderita penyakit hati kronik (PHK) imunisasi hepatitis A memberikan proteksi terhadap timbulnya hepatitis yang berat atau fulminan. Sasaran imunisasi adalah kelompok resiko tinggi dan anak merupakan prioritas utama. Pejbabaran berdasarkan prioritas seperti di bawah ini.
1.Sasaran utama kelompok resiko tinggi adalah anak dan idealnya diberikan pada usia > 2 tahun. Bagi yang belum pernah memperoleh imunisasi diusia tersebut dapat diberikan pada usia pra sekolah atau pada usia pra pubertas.
2. Sasaran kedua adalah kelompok resiko tinggi selain anak termasuk penderita penyakit hati kronik (PHK)
3. Saran lainnya adalah kelompok rentan yaitu kelompok sosial ekonomi tinggi dengan tingkat seroprevalens HVA yang rendah.

Upaya Kuratif
Upaya kuratif adalah upaya tatalaksana setelah yang bersangkutan dinyatakan terkena HVA. Tujuan utamanya adalah memantau perjalanan penyakit dan mengantisipasi timbulnya komplikasi. Berikut ini adalah panduan tatalaksana kuratif terhadap penderita infeksi HVA
1. Tidak ada terapi medikamentosa khusus bagi mereka yang terinfeksi HVA
2. Pemeriksaan kadar SGOT-SGPT dan bilirubin terkonyugasi untuk memantau aktivitas penyakit dan kemungkinan timbulnya hepatitis fulminan. Pemeriksaan diulang pada minggu ke-2 untuk melihat proses penyembuhan dankembali diulang pada bulan ke-3 untuk kemungkinan prolong atau relapsing hepatitis.
3. Pembatasan aktifitas fisik terutama yang bersifat kompetitif selama kadar SGOT-SGPT masih > 3 kali batas atas nilai normal.
4. Rawat inap hanya untuk kondisi tertentu. Pertama, dehidrasi berat akibat gastro-enteritis hebat dengan kesulietan masukan pre-oral Kedua, kadar SGOT-SGPT > 10 kali batas atas nilai normal untuk mengantisipasi kemungkinan nekrosis sel hati yang massif. Ketiga, perubahan perilaku atau penurunan kesadaran akibat ensefalopati hepatitis fulminan. Keempat pada prolong atau relapsing hepatitis, untuk elaborasi faktor penyertaan lainnya.
5. Terapi suportif. Cairan intravena diberikan bila pasien dalam keadaan dehidrasi berat atau muntah-muntah hebat dengan masukan peroral yang sulit. Tidak ada upaya dietetic khusus. Bila pasien mual, diberikan diet rendah lemak.
HEPATITIS B
Di Indonesia dan negara endemis HVB lainnya, transmisi infeksi HVB pada usia dini menimbulkan dampai epidemiologis yang besar terhadap rantai penularan HVB. Tujuan utama tatalaksana HVB adalah memotong jalur transmisi pada usia dini karena hepatitis B kronik yang ditemukan pada masa dewasa, umumnya berawal dari infeksi dini masa bayi.
Upaya Preventif
Titik berat upaya preventif adalah memotong rantai transmisi HVB pada usia dini. Upaya ini dibahas berdasarkan dua pola transmisi HVB yaitu transmisi vertikal dan transmisi horizontal, baik secara umum maupun khusus.
Upaya Preventif umum terhadap transmisi horizontal
Mekanisme kerja transmisi horizontal tidak begitu jelas, tetapi tampaknya melibatkan kontrak fisik erat dimana HVB masuk melalui permukaan mukosa atau kulit. Infeksi pada anak-anak tersebut merefleksikan peran faktor kepadatan pada transmisi HVB. Berikut ini adalah beberapa upaya preventif umum transmisi HVB.
a) Uji tapis donor darah dengan uji diagnostik yang sensitif.
b) Sterilisasi instrumen secara adekuat.
c) Tenaga medis senantiasa mempergunakan sarung tangan.
d) Mencegah kontak mikrolesi seperti yang dapat terjadi melalui pemakaian sikat gigi dan sisir, atau gigitan anak pengidap HVB.
Upaya preventif umum terhadap transmisi vertikal
Kemungkinan terbesar preventif terjadi pada saat kelahiran pervaginam akibat robekan plasenta dan kontaminasi darah ibu terhadap luka/mikrolesi bayi. Idealnya, semua ibu hamil menjalani uji tapis HVB karena akan sangat menentukan proses pengambilan keputusan dalam tatalaksana selanjutnya.
a. Skrining ibu hamil. Pemeriksaan dilakukan pada awal dan pada trimester ketiga kehamilan, terutama pada ibu yang beresiko terinfeksi HVB
b. Ibu ditangani secara multidisipliner yaitu oleh dokter ahli kandungan dan ahli penyakit dalam.
c. Segera setelah bayi lahir diberikan imunisasi hepatitis B.
d. Tidak ada indikasi kontra untuk menyusui.
Upaya Preventif Khusus
Upaya preventif khusus terhadap HVB dibahas dari 3 sudut pandang yaitu upaya imunisasi aktif dengan vaksin hepatitis B rekombinan, imunisasi pasir dengan Bhlg, serta penanganan terhadap bayi terlahir dari ibu pengidap HVB.
Imunisasi Aktif
Vaksin hepatitis B rekombinan. Vaksin dibuat dengan mengekspresikan antigen HBs pada sel ragi (saccharomyces cervisae atau Hansenula polymorpha). Sel ragi akan memproduksi HBsAg yang identik dengan BhsAg plasma pengidap HVB. Imunogenisitasnya sesuai dengan imunogenisitas vaksin plasma.
Imunisasi HVB dengan vaksin yang mengandung HBsAg berdasarkan pada peran genom HBs dalam menimbulkan prespons imun protektif terhadap infeksi. Tujuan imunisasi aktif HVB adalah memotong jalur transmisi HVB melalui program imunisasi HVB terhadap bayi baru lahir dan kelompok resiko tinggi tertular HVB. Imunisasi ini juga menurunkan resiko KHS akibat HVB.
Sasaran dan strategi imunisasi aktif HVB. Prioritas utama imunisasi aktif HVB adalah bayi baru lahir secara universal kepada semua bayi, segera setelah lahir, terintegrasi dengan program imunisasi lainnya. Selain memotong transmisi dini HVB keuntungan lain adalah memperoleh imunisasi pada masa bayi, harus diimunisasi secapatnya, paling lambat saat berusia 11 - 12 tahun.
Imunisasi Pasif
Imunisasi pasif HVB adalah pemberian hepatitis B immune globulin (HBIg) untuk proteksi cepat, jangka pendek. HBIg dibuat dari kumpulan plasma donor yang mengandung nati - HBs liter tinggi serta bebas HIV dan anti-HVC.
HBIg terindikasi pada keadaan paparan akut HVB dan harus diberikan segera setelah seseoerang terpajang HVB. Paparan akut HVB yang dimaksud adalah kontrak dengan darah yang maengandung HBsAG, baik melalui mekanisme inokulasi, tertelan, atau terciprat ke mukosa atau ke mata. HBIg ibu ditentukan berdasarkan status HBsAg ibu, sedangkan status HBeAg ibubukan merupakan faktor pertimbangan mutlak.
Tatalaksana Umum
HVB akut Prinsip talaksana adalah suportif dan pemantauan perjalanan penyakit. Pada awal periode simtomatik, dianjurkan tirah baring. Rawat inap pada keadaan gastroenteritis dehidrasi, kesulitan masukan peroral, titer SGOT-SGPT > 10 kali nilai batas atas normal, atau bila terdapat kecurigaan terhadap hepatitis fulminan seperti koagulopati, ensefalopati. Untuk memastikan klirens HbsAg, dilakukan pemantauan fungsi hati dan serologi HVB 6 bulan kemudian. Bila pada saat itu HBsAg masih positif, anak dinyatakan sebagai pengidap HVB.
HVB kronik. Orang tua harus memiliki pemahaman mengenai penyakit anak, serta resiko sirosik dan KHS yang ditimbulkannya. Di lain pihak, orang tua harus sepenuhnya menyadari kebutuhan anak untuk tumbuh dan berkembang sesuai dengan anak normal lainnya, berdasarkan pola hidup sehat serta aktivitas fisik yang normal. Termasuk dalam pola hidup sehat ini adalah upaya imunisasi rutin sesuai program imunisasi anak, termasuk imunisasi HVA. Hal lain yang perlu ditekankan adalah pentingnya pemantauan perjalanan penyakit secara berkala.
Dilakukan pemeriksaan tambahan HBeAg, IgG anti HBc, SFOT/PT, USG hati. Pemantauan berkala seperti di bawah ini:
• Setiap 6 bulan dilakukan pemeriksaan HBsAG, HBeAg, SGOT-SGPT, USG hati.
• Pemeriksaan HBVDNA tidak rutin, tetapi ideal bila dilakukan setiap 1-2 tahun. Bila terindikasi terapi anti virus, pemeriksaan ini merupakan keharusan untuk memprediksi keberhasilan terapi dan untuk memantau respons terapi.
• Bila selama pemantauan, BhsAg tetap positif tetapi SGOT/PT senantiasa dalam batas normal, anak dipantau secara berkala seperti pada butir I.
• Bila BhsAg tetap positif dan SGOT/PT meningkat lebih dari 1,5 kali batas atas normal pada > 3 kali pemeriksaan berturut-turut dengan interval minimal 2 bulan, perlu dipertimbangkan pemberian terapi antivirus. 5. Pada anak yang memenuhi deskripsi butir nomor 4, dilakukan biopsy hati.
Terapi Anti Virus
Dasar mekanisme kerja obat antivirus pada HVB krinik dan HVC adalah anti replikasi virus, imunomodulator, dan anti proliferasi. Oleh karena itu, tujuan terapi anti virus adalah sebagai berikut:
• Menekan replikasi virus sehingga mengurangi resiko transmisi HVB
• Normalisasi aminotransferase dan perbaikan histologis hati
• Mengurangi derajat infektivitas virus ^
• Menghilangkan atau mengurangi gejala /
• Mencegah progresivitas, menurunkan insidens KHS memperbaiki survical.
Indikasi, terdapat dua populasi penderita HVB yaitu pengidap sehat dan HVB kronik. Pengidap sehat tidak menunjukkan gejala klinis dan biokimiawi. Pada HVB kronik, terjadi peningkatan SGOT-SGPT yang merupakan petunjuk respons imun pejamu yang lebih aktif. Populasi HVB kronik inilah yang terindikasi terapi antivirus.
Keberhasilan terapi pada terapi antivirus kombinasi (interferon & lamivudine), hanya 24-40% saja yang menunjukkan respons jangka panjang. HBsAg dan HBVDNA akan kembali muncul setelah terapi dihentikan. Kegagalan ini diperkirakan karena ketidak mampuan obat antivirus untuk menghambat produk ekspresi_gensetelah DNA virus berintegrasi dengan DNA pejamu. Selain itu, munculnya mutan sebagai mekanisme untuk mempertahankan viremia, dapat mengubah perjalanan penyakit dan respons terhadap antivirus.
Faktor prediksi keberhasilan terapi, mengingat tingkat keberhasilan terapi yang sangat rendah, berbagai efek samping dapat yang ditimbulkannya serta harganya yang tinggi, diperlukan parameter penentuan kandidat terapi dan prediksi keberhasilan terapi. Hasil prediksi tersebut akan sangat menentukan arah kebijakan selanjutnya. Berikut ini adalah beberapa faktor predictor keberhasilan terapi.
1. SGOT/PT meningkat > 1,5 kali normal, kadar HBVDNA serum rendah
2. Adanya riwayat hepatitis akut
3. Lama sakit yang relatif pendek
4. Gambaran patologi sesuai hepatitis kronik aktif, tidak sirotik
5. Anti-HIV dan HDV (-)
6. Jenis kelamin perempuan, terinfeksi pada masa dewasa.
HEPATITIS C
Insiden dan faktor resiko HVC pada anak masih belum jelas. Sulit menentukan insidens HVC pada anak karena umumnya asimtomatik. Kelompok resiko tinggi HVC adalah anak dengan transiusi darah berulang terutama dengan transfusi faktor koagulasi serta anak dengan hemodialisis. Sedangkan resiko transmisi vertikal HVC tidak sebesar resiko pada HVB.
Upaya Preventif
Kebijakan preventif memegang peranan penting dalam tatalaksana HVC. Konsep utama upaya ini adalah mencegah transmisi HVC melalui upaya (1) skrining kelompok resiko tinggi, serta (2) identifikasi kasus HVC pada individu dengan kondisi klinis tertentu.
Upaya preventif Umum
Mengingat kesamaan pola transmisi HVC dengan HVB maka pada dasarnya upaya preventif umum HVC sesuai dengan upaya preventif umum HVB. Mengingat belum tersedianya vaksin HVC sebagai bentuk preventif spesifik, maka upaya preventif dititik beratkan pada uji tapis (skrining) donor darah dan kelompok resiko tinggi tertular HVC yang sesuai dengan kelompok resiko tinggi tertular HVB.
Upaya Preventif Kfiusus
Pemeriksaan anti-HVC. Selama vaksin HVC belum tersedia, upaya preventif difokuskan pada identifikasi kasus pengidap HVC. Pemeriksaan anti-HVC terindikasi pada kelompok di bawah ini:
1. Bayi dari ibu pengidap HVC
2. Pasien dengan gejala hepatitis, pasien dengan hepatitis kronis, sirosis, dan KHS, pasien dengan peningkatan SGOT-SGPT yang tidak diketahui penyebabnya.
3. Pasien transfusi darah berulang, plasmaferesis, hemodialisis, koagulopati.
4. Kontak seks - pengidap HVC, pasangan seks berganti, prostitusi, homoseksual,
5. Pengguna obat intrvena
6. Resipien transplantasi organ
7. Tenaga medis
Vaksin HVC
Sampai saat ini belum ditemukan vaksin terhadap HVC. HVC tidak menimbulkan imunitas protektif terhadap infeksi berulang baik infeksi ulang dengan strain homolog maupun heterolog. Hal ini terbukti karena sebagian penderita HVC mengalami beberapa episode hepatitis akut, suatu keadaan yang meresahkan dipandang dari sisi pembuatan vaksin yang efektif. Selain itu, tingkat kronisitas HVC yang tinggi mencerminkan kemampuanvirus untuk mempertahankan viermia melalui mekanisme pembentukan mutan yang berhasil lolos dari sistem imun pejamu. Tingginya laju mutasi virus juga merupakan faktor penyebab sulitnya pembuatan vaksin HVC.
Upaya Kuratif umum dan Khusus
Upaya kuratif terhadap upaya tatalaksana terhadap anak dengan HVC (+). Kebijakan umum mencakup upaya suportif, pola asuh hidup sehat, serta pemantauan perjalanan penyakit. Kebijakan khusus adalah mengenai terapi antivirus, khsusunya mengenai penentuan kandidat terapi dan faktor prediksi keberhasilan terapi antivirus.
Upaya Kuratif Umum
Tidak mudah untuk mendeteksi HVC akut berdasarkan pemeriksaan serologi anti -HVC karena pada dua pertiga kasus, anti-HVC baru dapat dideteksi pada minggu ke-12. Bila anti-HVC negatir pada saat sakit < 12 minggu, pemeriksaan ini harus diulang. Dilain pihak, sebagian penderita 12 minggu, pemeriksaan ini harus diulang. Di lain pihak, sebagian penderita HVC akut bersifat asimtomatik, terutama mereka yang ternyata akan mengalami penyembahan. Sampai saat ini belum ada parameter imunodiagnostik kesembuahn atau kekebalan.
Upaya umum terhadap anak pengidap HVC yang khronik, kurang lebih sama dengan upaya terhadap anak pengidap HVB. Anak tidak perlu memperoleh perlakuan istimewa dan ditekankan pentingnya pola hidup sehat. Anak juga harus memperoleh imunisasi secara lengkap termasuk imunisasi hepatitis A dan B.
Pemantauan terhadap perjalanan penyakit perlu dilakukan secara berkala. Berdasarkan patogenseis HVC dalam kaitannya dengan kejadian KHS dan belum/tidak ditemukannya kejadian KHS pada anak akibat HVC, maka pemeriksaan cc-feto protein pada anak dianggap tidak beralasan. Berikut ini adalah upaya pemantauan terhadap anak pengidap HVC:
• Pemeriksaan anti-HVC ulangan 6 bulan kemudian. Bila masih positif, dilakukan pemeriksaan SGOTYPT, USG hati, HCVRNA (idealnya) autoantibodi karena virus hepatitis C potensial untuk menimbulkan kejadian autoimun.
• Anti-HVC dan SGOT/PT diulang setiap 6 bulan. USG hati dilakukan 1 tahun sekali. Pemerisaan HCVRNA hanya diulang bila terindikasi terapi


J. ASUHAN KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN
Data dasar tergantung pada penyebab dan beratnya kerusakan/gangguan hati
1.Aktivitas
- Kelemahan
- Kelelahan
- Malaise
2. Sirkulasi
- Bradikardi ( hiperbilirubin berat )
- Ikterik pada sklera kulit, membran mukosa

3. Eliminasi
- Urine gelap
- Diare feses warna tanah liat
4. Makanan dan Cairan
- Anoreksia
- Berat badan menurun
- Mual dan muntah
- Peningkatan oedema
- Asites/Acites
5. Neurosensori
- Peka terhadap rangsang
- Cenderung tidur
- Letargi
- Asteriksis
6. Nyeri / Kenyamanan
- Kram abdômen
- Nyeri tekan pada kuadran kanan
- Mialgia
- Atralgia
- Sakit kepala
- Gatal ( pruritus )
7. Keamanan
- Demam
- Urtikaria
- Lesi makulopopuler
- Eritema
- Splenomegali
- Pembesaran nodus servikal posterior
8. Seksualitas
- Pola hidup / perilaku meningkat resiko terpajan

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Beberapa masalah keperawatan yang mungkin muncul pada penderita hepatitis :
1. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan, perasaan tidak nyaman di kuadran kanan atas, gangguan absorbsi dan metabolisme pencernaan makanan, kegagalan masukan untuk memenuhi kebutuhan metabolik karena anoreksia, mual dan muntah.
2. Gangguan rasa nyaman (nyeri) berhubungan dengan pembengkakan hepar yang mengalami inflamasi hati dan bendungan vena porta.
3. Hypertermi berhubungan dengan invasi agent dalam sirkulasi darah sekunder terhadap inflamasi hepar
4. Keletihan berhubungan dengan proses inflamasi kronis sekunder terhadap hepatitis
5. Resiko tinggi kerusakan integritas kulit dan jaringan berhubungan dengan pruritus sekunder terhadap akumulasi pigmen bilirubin dalam garam empedu
6. Risiko tinggi terhadap transmisi infeksi berhubungan dengan sifat menular dari agent virus

G. INTERVENSI
1. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan, perasaan tidak nyaman di kuadran kanan atas, gangguan absorbsi dan metabolisme pencernaan makanan, kegagalan masukan untuk memenuhi kebutuhan metabolik karena anoreksia, mual dan muntah.
Hasil yang diharapkan :
Menunjukkan peningkatan berat badan mencapai tujuan dengan nilai laboratorium normal dan bebas dari tanda-tanda mal nutrisi.
a. Ajarkan dan bantu klien untuk istirahat sebelum makan
R/keletihan berlanjut menurunkan keinginan untuk makan
b. Awasi pemasukan diet/jumlah kalori, tawarkan makan sedikit tapi sering dan tawarkan pagi paling sering
R/adanya pembesaran hepar dapat menekan saluran gastro intestinal dan menurunkan kapasitasnya.

c. Pertahankan hygiene mulut yang baik sebelum makan dan sesudah makan
R/akumulasi partikel makanan di mulut dapat menambah baru dan rasa tak sedap yang menurunkan nafsu makan.
d. Anjurkan makan pada posisi duduk tegak
R/menurunkan rasa penuh pada abdomen dan dapat meningkatkan pemasukan
e. Berikan diit tinggi kalori, rendah lemak
R/glukosa dalam karbohidrat cukup efektif untuk pemenuhan energi, sedangkan lemak sulit untuk diserap/dimetabolisme sehingga akan membebani hepar.

2. Gangguan rasa nyaman (nyeri) berhubungan dengan pembengkakan hepar yang mengalami inflamasi hati dan bendungan vena porta.
Hasil yang diharapkan :
Menunjukkan tanda-tanda nyeri fisik dan perilaku dalam nyeri (tidak meringis kesakitan, menangis intensitas dan lokasinya)
a. Kolaborasi dengan individu untuk menentukan metode yang dapat digunakan untuk intensitas nyeri
R/nyeri yang berhubungan dengan hepatitis sangat tidak nyaman, oleh karena terdapat peregangan secara kapsula hati, melalui pendekatan kepada individu yang mengalami perubahan kenyamanan nyeri diharapkan lebih efektif mengurangi nyeri.
b. Tunjukkan pada klien penerimaan tentang respon klien terhadap nyeri
- Akui adanya nyeri
- Dengarkan dengan penuh perhatian ungkapan klien tentang nyerinya
R/ klienlah yang harus mencoba meyakinkan pemberi pelayanan kesehatan bahwa ia mengalami nyeri
c. Berikan informasi akurat dan
- Jelaskan penyebab nyeri
- Tunjukkan berapa lama nyeri akan berakhir, bila diketahui
R/ klien yang disiapkan untuk mengalami nyeri melalui penjelasan nyeri yang sesungguhnya akan dirasakan (cenderung lebih tenang dibanding klien yang penjelasan kurang/tidak terdapat penjelasan)


e. Bahas dengan dokter penggunaan analgetik yang tak mengandung efek hepatotoksi
R/ kemungkinan nyeri sudah tak bisa dibatasi dengan teknik untuk mengurangi nyeri.

3. Hypertermi berhubungan dengan invasi agent dalam sirkulasi darah sekunder terhadap inflamasi hepar.
Hasil yang diharapkan :
Tidak terjadi peningkatan suhu
a. Monitor tanda vital : suhu badan
R/ sebagai indikator untuk mengetahui status hypertermi
b. Ajarkan klien pentingnya mempertahankan cairan yang adekuat (sedikitnya 2000 l/hari), untuk mencegah dehidrasi, misalnya sari buah 2,5-3 liter/hari.
R/ dalam kondisi demam terjadi peningkatan evaporasi yang memicu timbulnya dehidrasi
c. Berikan kompres hangat pada lipatan ketiak dan femur
R/ menghambat pusat simpatis di hipotalamus sehingga terjadi vasodilatasi kulit dengan merangsang kelenjar keringat untuk mengurangi panas tubuh melalui penguapan
d. Anjurkan klien untuk memakai pakaian yang menyerap keringat
R/ kondisi kulit yang mengalami lembab memicu timbulnya pertumbuhan jamur. Juga akan mengurangi kenyamanan klien, mencegah timbulnya ruam kulit.

4. Keletihan berhubungan dengan proses inflamasi kronis sekunder terhadap hepatitis
a. Jelaskan sebab-sebab keletihan individu
R/ dengan penjelasan sebab-sebab keletihan maka keadaan klien cenderung lebih tenang
b. Sarankan klien untuk tirah baring
R/ tirah baring akan meminimalkan energi yang dikeluarkan sehingga metabolisme dapat digunakan untuk penyembuhan penyakit.
c. Bantu individu untuk mengidentifikasi kekuatan-kekuatan, kemampuan-kemampuan dan minat-minat
R/ memungkinkan klien dapat memprioritaskan kegiatan-kegiatan yang sangat penting dan meminimalkan pengeluaran energi untuk kegiatan yang kurang penting
d. Analisa bersama-sama tingkat keletihan selama 24 jam meliputi waktu puncak energi, waktu kelelahan, aktivitas yang berhubungan dengan keletihan
R/ keletihan dapat segera diminimalkan dengan mengurangi kegiatan yang dapat menimbulkan keletihan
e. Bantu untuk belajar tentang keterampilan koping yang efektif (bersikap asertif, teknik relaksasi)
R/ untuk mengurangi keletihan baik fisik maupun psikologis
6. Resiko tinggi kerusakan integritas kulit dan jaringan berhubungan dengan pruritus sekunder terhadap akumulasi pigmen bilirubin dalam garam empedu
Hasil yang diharapkan :
Jaringan kulit utuh, penurunan pruritus.
a. Pertahankan kebersihan tanpa menyebabkan kulit kering
- Sering mandi dengan menggunakan air dingin dan sabun ringan (kadtril, lanolin)
- Keringkan kulit, jaringan digosok
R/ kekeringan meningkatkan sensitifitas kulit dengan merangsang ujung syaraf
b. Cegah penghangatan yang berlebihan dengan pertahankan suhu ruangan dingin dan kelembaban rendah, hindari pakaian terlalu tebal
R/ penghangatan yang berlebih menambah pruritus dengan meningkatkan sensitivitas melalui vasodilatasi
c. Anjurkan tidak menggaruk, instruksikan klien untuk memberikan tekanan kuat pada area pruritus untuk tujuan menggaruk
R/ penggantian merangsang pelepasan hidtamin, menghasilkan lebih banyak pruritus
d. Pertahankan kelembaban ruangan pada 30%-40% dan dingin
R/ pendinginan akan menurunkan vasodilatasi dan kelembaban kekeringan






7. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan pengumpulan cairan intraabdomen, asites penurunan ekspansi paru dan akumulasi sekret.
Hasil yang diharapkan :
Pola nafas adekuat
a. Awasi frekwensi , kedalaman dan upaya pernafasan
R/ pernafasan dangkal/cepat kemungkinan terdapat hipoksia atau akumulasi cairan dalam abdomen
b. Auskultasi bunyi nafas tambahan
R/ kemungkinan menunjukkan adanya akumulasi cairan
c. Berikan posisi semi fowler
R/ memudahkan pernafasan denagn menurunkan tekanan pada diafragma dan meminimalkan ukuran sekret
d. Berikan latihan nafas dalam dan batuk efektif
R/ membantu ekspansi paru dalam memobilisasi lemak
e. Berikan oksigen sesuai kebutuhan
R/ mungkin perlu untuk mencegah hipoksia

8. Risiko tinggi terhadap transmisi infeksi berhubungan dengan sifat menular dari agent virus
Hasil yang diharapkan :
Tidak menunjukkan tanda-tanda infeksi.
a. Gunakan kewaspadaan umum terhadap substansi tubuh yang tepat untuk menangani semua cairan tubuh
- Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan semua klien atau spesimen
- Gunakan sarung tangan untuk kontak dengan darah dan cairan tubuh
- Tempatkan spuit yang telah digunakan dengan segera pada wadah yang tepat, jangan menutup kembali atau memanipulasi jarum dengan cara apapun
R/ pencegahan tersebut dapat memutuskan metode transmisi virus hepatitis
b. Gunakan teknik pembuangan sampah infeksius, linen dan cairan tubuh dengan tepat untuk membersihkan peralatan-peralatan dan permukaan yang terkontaminasi
R/ tenik ini membantu melindungi orang lain dari kontak dengan materi infeksius dan mencegah transmisi penyakit
c. Jelaskan pentingnya mencuci tangan dengan sering pada klien, keluarga dan pengunjung lain dan petugas pelayanan kesehatan.
R/ mencuci tangan menghilangkan organisme yang merusak rantai transmisi infeksi
e. Rujuk ke petugas pengontrol infeksi untuk evaluasi departemen kesehatan yang tepat
R/ rujukan tersebut perlu untuk mengidentifikasikan sumber pemajanan dan kemungkinan orang lain terinfeksi





















DAFTAR PUSTAKA

Carpenito Lynda Jual, 1999, Rencana Asuhan dan Dokumentasi Keperawatan, EGC, Jakarta.
Gallo, Hudak, 1995, Keperawatan Kritis, EGC, Jakarta.
Hadim Sujono, 1999, Gastroenterologi, Alumni Bandung.
Moectyi, Sjahmien, 1997, Pengaturan Makanan dan Diit untuk Pertumbuhan Penyakit, Gramedia Pustaka Utama Jakarta.
Price, Sylvia Anderson, Wilson, Lorraine Mc Carty, 1995, Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit, EGC, Jakarta.
Smeltzer, suzanna C, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Brunner dan Suddart. Alih bahasa Agung
Waluyo, Edisi 8, jakarta, EGC, 2001.
Susan, Martyn Tucker et al, Standar Perawatan Pasien, jakarta, EGC, 1998.
Reeves, Charlene, et al,Keperawatan Medikal Bedah, Alih bahasa Joko Setiyono, Edisi I, jakarta, Salemba Medika.
Sjaifoellah Noer,H.M, 1996, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, jilid I, edisi ketiga, Balai Penerbit FKUI, jakarta